Polemik Tanah Kas Desa di Jogja: Penyalahgunaan untuk Properti Berlegalitas HPL

Kasus penyalahgunaan lahan Tanah Kas Desa (TKD) di Yogyakarta kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Tanah-tanah yang sejatinya merupakan aset milik desa dan kasultanan ini kini banyak ditemukan berubah fungsi menjadi bangunan properti komersial seperti perumahan, hotel, dan kawasan bisnis dengan legalitas HPL (Hak Pengelolaan Lahan). Praktik ini menimbulkan sejumlah persoalan, baik dari sisi hukum, tata ruang, hingga keadilan sosial.

Tanah Kas Desa merupakan aset milik desa yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat desa, seperti pertanian, fasilitas umum, atau program desa lainnya. Begitu pula Sultan Ground — lahan milik Kasultanan Yogyakarta yang secara historis diatur untuk mendukung pembangunan dan kemaslahatan rakyat. Namun, dalam praktiknya, banyak pengembang memanfaatkan lahan-lahan ini untuk mendirikan bangunan properti komersial, dengan mengantongi izin dalam bentuk HPL yang notabene bukan Hak Milik.

Legalitas HPL sendiri merupakan bentuk hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada badan hukum (seperti pemerintah atau lembaga tertentu) untuk mengelola dan memberikan izin pemanfaatan tanah kepada pihak ketiga. Dalam konteks ini, banyak pengembang mendapatkan HPL melalui skema kerja sama dengan pemerintah desa atau lembaga terkait, yang kemudian dipasarkan sebagai properti komersial layaknya tanah milik pribadi. Padahal, HPL tidak memberikan hak kepemilikan penuh seperti halnya SHM (Sertifikat Hak Milik), dan sangat tergantung pada perjanjian serta izin yang bisa dicabut sewaktu-waktu.

Praktik ini menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, terjadi alih fungsi lahan tanpa memperhatikan tata ruang dan kebutuhan masyarakat lokal. Kedua, potensi konflik agraria meningkat, terutama jika pemanfaatan tanah tidak transparan dan melibatkan oknum yang menyalahgunakan kewenangan. Ketiga, konsumen properti kerap dirugikan karena membeli properti di atas lahan HPL tanpa pemahaman utuh tentang status hukum tanah tersebut.

Pemerintah daerah dan lembaga hukum diharapkan turun tangan lebih serius dalam menertibkan dan meninjau kembali izin-izin yang sudah diberikan. Transparansi dalam pengelolaan tanah kas desa dan Sultan Ground perlu diperkuat, agar tidak dimanfaatkan segelintir pihak untuk kepentingan bisnis semata, tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat luas.

Kasus ini menjadi cerminan pentingnya tata kelola pertanahan yang adil dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan hanya keuntungan jangka pendek.

Share the Post:

Artikel Lainnya

Kasus penyalahgunaan lahan Tanah Kas Desa (TKD) di Yogyakarta kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. …

Progres Pembangunan Perumahan Ndalem Hinggil 10 Juli 2025

Yogyakarta (10 Juli 2025) – Perumahan Ndalem Hinggil Jogja hingga saat ini dalam taham pembangunan, …

Serah Terima Unit Ndalem Hinggil Kavling C4

Yogyakarta – PT. Solusindo Jitu kembali menyelesaikan progres pembangunan salah satu unit Perumahan Ndalem Hinggil …